Sabtu, 11 Juli 2009

Peran Guru dan Kepentingan Murid

Bagaikan sinetron dengan judul "meningkatkan mutu pendidikan" maka aktor atau
pemain utamanya dilembaga pendidikan adalah "guru dan murid". Guru mengajar,
murid belajar, guru mendidik, murid di didik, guru membimbing dan murid
dibimbing, guru melatih, murid dilatih. Keduanya terlibat dalam proses
pendidikan yang kreatif, dinamis dan demokratis dalam suasana kebatinan yang
saling menyayangi, saling menghargai dan saling mempercayai. Sadar atau tidak,
pemain utama itu telah termarjinalkan, telah terpinggirkan dan pemain utamanya
telah beralih ke tangan birokrasi baik di pusat maupun di daerah.

Belum Cerdas
Negara kita terpuruk, karena kita belum cerdas sebagai akibat belum seriusnya
kita menangani pendidikan. Kita tidak mengikuti dan melaksanakan UUD dan UU
yang telah dilahirkan oleh para negarawan kita. Kalau saja para pemimpin
bangsa mau dan serius mencerdaskan kehidupan bangsa maka alokasi biaya untuk
pelaksanaan pendidikan seyogianya harus mengacu pada amanat UUD 45 dengan
menganggarkan 20persen dari APBN dan APBD diluar gaji para guru dan pendidikan
kedinasan, bukannya dijanjikan "akan dilaksanakan" tetapi seharusnya "sudah
dilaksanakan"

Marilah kita berkaca pada negara bangsa yang maju dengan dasar dan komitmen
yang tinggi untuk membangun pendidikan yang berkualitas di negaranya. Inilah
sedikit gambaran tentang kondisi guru kita yang dibebani segudang tugas yang
terbit dari meja birokrasi dan secuil imbalan yang diterimanya. 40 persen guru
mengajar tidak sesuai dengan keahliannya. Guru yang standar kualifikasinya
sesuai dengan standart nasional pada masing-masing jenjang sekolah adalah
hanya 3,88 persen dari 137.069 Guru TK, hanya 8,3persen dari 1.234.927 guru SD,
hanya  42,03 persen dari 466.749 guru SMP, hanya 72,75 persen dari 230.114 guru
SMA, hanya 64,16 persen dari 147.559 guru SMK dan hanya 46,35 persen guru SLB
yang punya kualifikasi S1 sesuai standar nasional. Di Perguruan Tinggi hanya
43,46persen Dosen yang berijazah S2/S3 yaitu kualifikasi yang sesuai standart
kualifikasi nasional. Kemampuan kewiraswastaan sangat rendah, hal itu terlihat
dari 82,2 persen lulusan Perguruan Tinggi hanya menjadi
 karyawan, artinya belum mampu menciptakan lapangan kerja baik untuk dirinya
sendiri apalagi untuk orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar